Ditatapnya bocah itu dengan kasih sayang. Dibelainya rambut ikal mengombak itu. Kemudian wajahnya beralih ke arah suami yang duduk di sampingnya.
“Kasihan
anak ini… masa kanak-kanaknya tergadai dengan kehidupan jalanan yang keras.”
Menatap mata suami dengan tetes air mata yang tak mampu ditahan.
“Benar,
dik… Sungguh malang nasib anak ini. Disaat banyak pasangan menginginkan
keturunan, justru di luar sana anak-anak ditelantarkan.
“Maafkan
Aini, mas… Aini belum bisa memberikan keturunan. “ Air mata semakin deras tak
terbendung.
“Bukan
salahmu, dik… mungkin Allah belum berkehendak.”
Sudah lebih tujuh tahun masa
pernikahan kami. Kami menikah lima bulan setelah aku menyelesaikan studi di
Fakultas Psikologi, sedang Mas Adnan, suamiku telah bekerja di sebuah
perusahaan swasta di Ibu kota.
Kami memulai sebuah kehhidupan baru
dengan mengontrak sebuah rumah sederhana hingga Mas Adnan diangkat sebagai
pegawai tetap dengan gaji yang lumayan dan kami akhirnya mampu untuk membeli
sebuah rumah mungil yang lebih sehat walau dengan cara angsuran.
Setelah diangkat sebagai pegawai
tetap, Mas Adnan makin sibuk bekerjaguna menambah penghasilan untuk segera
melunasi rumah mungil kami. Sedangkan aku mulai sibuk dengan pekerjaan baruku
sebagai tenaga konseling di sebuah SMA.
Meski kami hidup bahagia dengan
balutan kesederhanaan namun kami merasa sepi tanpa kehadiran buah hati.
“Ibu
sudah semakin senja, Aini… Ibu ingin sekali menimang cucu sebelum Ibu pergi.”
Keluh ibu mertuaku setiap berbicara di telepon. Aku hanya membisu karena
kecamuk dalam hati tak bisa kulukiskan.
Mas Adnan tidak pernah mengeluh akan
hal itu, tapi binar-binar di matanya mampu lukiskan bahwa batinnya sangat sepi.
Sering di sepertiga malam, aku melihat suamiku menangis dalam muhasabahnya,
meminta keikhlasan Sang Pencipta untuk memberikan keturunan pengisi jiwa.
Akhirnya yang dinanti-nanti pun
hinggap, aku positif hamil. Betapa bahagianya seluruh keluargaku mendengar hal
ini. Inilah jawaban atas doa-doa dan air mata di sepertiga malam-Nya yang
agung.
Berbulan-bulan kulewati dengan ucap
syukur yang menghambur. Tak terasa sudah genap delapan bulan usia kandunganku.
Bulan-bulan pertama merupakan masa sulit bagiku, makan tak nafsu dan mual-mual.
Namun aku menjalani hariku seperti biasa serasa tak ada beban berat di perutku.
Bearngkat ke sekolah, menjadi pembicara beberapa seminar, menghadiri pengajian
pekanan, dan kegiatan-kegiatan lain yang cukup menguras energi.
Sebenarya Mas adnan melarangku untuk
bekerja, tapi aku tidak mau menjadi istri yang hanya konco wingking. Aku lebih suka menjadi wanita karier namun tetap
mengutamakana keluarga.
Semenjak
bulan pertama kehamilan, Mas Adnan sangat antusias mempersiapkan segala sesuatu
untuk calon bayi kami. Terlebih ia pun telah membuat rencana pendidikan lengkap
sampai perguruan tinggi untuk janin dalam kandunganku. Bahkan ia tlah
menyiapkan kado special untuk calon bayi kami. Entahlah, aku pun tak tahu isi
kado itu. Sempat kutanyakan, tapi tak pernah ada jawaban. Petanyaanku hanya
dijawab dengan senyum yang mengembang.
Hari yang ditunggu-tunggu pun
mnetas. Proses persalinan berjalan alot karena posisi janinku tidak berda pada
posisi seharusnya. Lebih dari lima jam rasa sakit menggerogotiku, sampai
akhirnya bayi cantik kami lahir tepat di sepertiga malam, waktu biasa kami
bermuhasabah kepada-Nya.
Senyuman
simpul suamiku meresap tepat di hatiku, binar-binar cinta melingkarkan
harap di sudut matanya. Binar-binar itu
semakin nampak tatkala ia tengah membisikkan adzan di telinga bayi kami. Ibu
mertuaku tersenyum puas atas kehadiran cucu pertamanya, semua keluarga besar
kami menyambut girang kehadiran malaikat kecil kami.
Kebahagiaan
kami serta merta tergores, ketika dokter
memberitahukan bahwa ada kelainan pada jantung bayi kami. Kebahagiaan kami
hancur sempurna ketika dokter menambahkan bahwa bayi kami tidak akan bertahan
lama dengan kelainan yang dideritanya. Dokter tidak mampu berbuat apa-apa
karena bayi kami masih terlalu kecil untuk dilakukan operasi besar.
Suasana
berubah drastis, aku semakin lemah dan jatuh tak sadarkan diri. Sementara binar-binar cinta di sudut mata Mas
Adnan berubah menjadi tangis air mata. Serta merta ia mendekap bayi cantik kami
dan berbisik pelan.
“Ayah
mencintaimu, ananda sayang… Biarlah kado untukmu tersimpan hingga suatu saat
nanti kita akan kembali dipertemukan dalam dekapan surga-Nya.”
***